Gerakan 30 September berhasil menculik enam jenderal dan seorang
perwira TNI AD. Tapi dalam waktu singkat, pasukan Mayjen Soeharto yang
terdiri dari Kostrad dan RPKAD berhasil mencerai-beraikan kekuatan
militer yang dipimpin Letkol Untung. Hanya dalam waktu dari 24 jam,
Soeharto memutarbalikkan situasi.
Saat itu pasukan G30S berkekuatan satu batalyon Cakrabirawa, satu
batalyon dari Brigif I Kodam Jaya, satu batalyon Pasukan Gerak Tjepat
(PGT) dan Pasukan Pertahanan Pangkalan (PPP). Lalu ditambah Batalyon 530
Raiders Jawa Timur dan Batalyon 454 Raiders dari Jawa Tengah. Lalu ada
2.000 sukarelawan yang dilatih PKI di Lubang Buaya. Sekadar catatan,
satu batalyon umumnya berkekuatan 500-700 orang.
Faktanya jauh berbeda. Hanya sekitar satu kompi Cakrabirawa
berkekuatan 60 orang yang ikut. Dari Brigif I juga hanya 60. Dari PPP
ada 700 pasukan, sementara PGT tak ada. Yang cukup banyak adalah
Batalyon 530 dan 454. Dua pasukan elite ini berkekuatan masing-masing
500 orang.
Untung membagi tiga pasukannya. Pasukan Pasopati (Cakrabirawa dan Brigif) bertugas menculik para jenderal, Bimasakti (Yon 454 dan Yon 530) bertugas mengawal kawasan Monas dan merebut RRI serta Telkom. Lalu pasukan Gatotkaca yang menjaga Lubang Buaya (Terdiri dari PPP dan sukarelawan).
Untung membagi tiga pasukannya. Pasukan Pasopati (Cakrabirawa dan Brigif) bertugas menculik para jenderal, Bimasakti (Yon 454 dan Yon 530) bertugas mengawal kawasan Monas dan merebut RRI serta Telkom. Lalu pasukan Gatotkaca yang menjaga Lubang Buaya (Terdiri dari PPP dan sukarelawan).
Kekalahan Untung dkk terjadi karena buruknya perencanaan. Saat
Presiden Soekarno memerintahkan Brigjen Soepardjo, (Wakil Letkol Untung)
untuk menghentikan kegiatan, Soepardjo dan pimpinan lain setuju. Mereka
bingung karena tidak punya rencana B alias cadangan.
Tidak jelas pula siapa yang memegang komando. Brigjen Soepardjo dan
Kolonel Latief yang pangkatnya lebih tinggi, justru menjadi wakil
Untung. Belum lagi pengaruh Sjam dan Pono, dua orang dari Biro Chusus
PKI.
“Rencana operasinya ternyata tidak jelas. Terlalu dangkal. Titik
berat hanya pada pengambilan tujuh jenderal saja. Bagaimana kemudian
bila berhasil tidak jelas. Kalau gagal juga tidak jelas,” tulis
Soepardjo seperti dikutip John Roosa dalam bukunya Dalih Pembunuhan
Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto.
Dalam peperangan, skenario mundur bukan pengecut. Dalam setiap
pertempuran selalu ada skenario mundur. Tetapi ini tidak berlaku untuk
G30S. Semangat mengalahkan logika.
Saat Soepardjo menanyakan hal itu, Sjam dan yang lain langsung
memotong. “Ya Bung. Kalau mau revolusi banyak yang mundur. Tetapi kalau
sudah menang banyak yang ikut.”
Satu kesalahan fatal lain adalah soal logistik. Untung kehilangan
banyak pasukannya gara-gara nasi bungkus. Pasukan Bimasakti yang terdiri
dari Yon 530 dan Yon 454 berjaga sehari penuh di Lapang Monas.
Tapi tak ada yang mencukupi kebutuhan mereka. Tanggal 1 Oktober 1965 dari pagi hingga petang, pasukan itu tak diberi makan.
Maka ketika Soeharto mengutus utusannya untuk membujuk Yon 530 agar kembali ke Kostrad tawaran itu dipenuhi.
“Masuk berita lagi bahwa pasukan sendiri dari Yon Jateng dan Yon
Jatim tidak mendapat makanan. Kemudian menyusul berita Yon Jatim minta
makan ke Kostrad. Penjagaan ditinggalkan begitu saja.”
“Semua Kemacetan gerakan pasukan disebabkan di antaranya tidak ada
makanan. Mereka tidak makan semenjak pagi, siang dan malam. Hal ini baru
diketahui pada malam hari ketika ada gagasan untuk dikerahkan menyerang
ke dalam kota,” kata Supardjo.
Tapi terlambat. Yon 530 sudah bergabung dengan Kostrad dan Yon 454
sudah berada di sekitar Halim. Tak mungkin lagi memerintahkan mereka
menyerang.
Soal makanan untuk pasukan, Soepardjo punya analisa sendiri. Tapi
saat itu dia berada di bawah komando Untung. Padahal jika Soepardjo yang
memimpin mungkin hasilnya akan berbeda. Bagaimana pun seorang jenderal
tentunya lebih cakap daripada seorang letnan kolonel.
“Ada dua jalan yang bisa ditempuh. Pertama: Komandan Batalion diberi
wewenang untuk merektuir makanan di tempat-tempat ia berada. Hubungan
dengan penduduk atau mengambil inisiatif membuka gudang-gudang makanan.
Separo bisa dimakan dan selebihnya diberikan pada rakyat,” demikian
analisa jenderal bintang satu ini.
Maka karena nasi bungkus dan logistik Untung dan pasukan G30S kalah
sebelum berperang. Sejarawan Petrik Metanasi meyakini, Untung memang tak
siap melakukan kudeta.
“Kalau memang dia berniat untuk itu, tentunya dia mempersiapkan
makanan, logistik. Tapi ini tidak. Misi Untung hanya menculik tujuh
jenderal,” ujar Petrik saat berbincang dengan merdeka.com.
Untung memang bukan politisi. Setelah dia menculik para jenderal, dia
berharap PKI akan melakukan aksi massa untuk mendukung gerakan
tersebut. Tapi tidak terjadi. Yang terjadi lebih dari satu juta anggota
PKI dibantai oleh Soeharto dan masyarakat antikomunis.
(Sumber: Ramadhian Fadhillah, Rakyat Merdeka)
mari segera bergabung dengan kami.....
BalasHapusdi ajoqq.club...
segera di add black.berry pin 58CD292C.
WwW-AJoQQ.club| bonus rollingan 0,3% | bonus referral 20% | minimal deposit 15000