Rasa penasaran itu masih saja berkecamuk. Rasa yang sama mungkin juga
dimiliki sejarawan Belanda Harry A Poeze yang menyebutkan Tan Malaka
dibunuh di Desa Selopanggung Kecamatan Semen Kabupaten Kediri pada 21
Februari 1949 oleh Brigade Sikatan atas perintah Letnan Dua Sukotjo.
Rasa penasaran itu berujung ketika harus melangkah menuju wilayah
Selopanggung yang berada di kaki Gunung Wilis tempat di mana Tan Melaka
harus meregang nyawa. Keputusasaan sempat berkecamuk ketika gagal
mendapatkan informasi seperti apa yang disampaikan Harry A Poeze, yang
yang juga Direktur KITLV Press (Institut Kerajaan Belanda Untuk Studi
Karibia dan Asia Tenggara) tentang Tan Malaka di Desa Selopanggung.
Namun berkat kesabaran akhirnya merdeka.com bertemu dengan Syamsuri (45) mantan Kepala Desa Selopanggung (1990-1998).
Atas jasa Syamsuri itulah, merdeka.com diajak bertemu dengan Tolu (87) warga Selopanggung yang berada di lembah Gunung Wilis yang berjarak kurang lebih 30 kilometer dari Kota Kediri. Tolu yang sudah agak berkurang pendengarannya itu, kaget ketika penulis datang bertanya tentang rumah kakeknya yang dijadikan tempat persembunyian Brigade S saat agresi Belanda kedua terjadi sekitar tahun 1948.
Atas jasa Syamsuri itulah, merdeka.com diajak bertemu dengan Tolu (87) warga Selopanggung yang berada di lembah Gunung Wilis yang berjarak kurang lebih 30 kilometer dari Kota Kediri. Tolu yang sudah agak berkurang pendengarannya itu, kaget ketika penulis datang bertanya tentang rumah kakeknya yang dijadikan tempat persembunyian Brigade S saat agresi Belanda kedua terjadi sekitar tahun 1948.
Dan lebih kaget lagi ketika disebutkan nama Tan Malaka. Tolu terdiam
sejenak untuk mengambil napas, kemudian dia menghisap rokok klobot
(rokok ricikan sendiri) dan dinikmati dengan pelan dan kemudian dari
mulutnya keluar perintah kepada anak perempuannya. “Nduk gawekno wedang
kopi, iki lho enek tamu,” katanya singkat. (Anak perempuanku tolong
buatkan kopi untuk tamu).
Setelah kopi dihidangkan, kemudian ia bercerita. “Kala itu saya masih
berumur sekitar 10 tahun. Saya tinggal bersama kakek saya, Mbah Yasir
namanya. Rumah kakek saya itulah yang ditempati pasukan TRI yang
melarikan diri dari kejaran Belanda,” katanya sambil menikmati rokoknya.
Ditambahkan Tolu, dari para anggota TRI tersebut dia masih ingat
nama-nama pentolannya. “Mereka adalah priyayi yang berpakaian bagus,
berpendidikan, membawa senjata, membawa buku dan juga mesin ketik.
Mereka antara lain Letkol Surahmat, Letnan Dua Sukotjo, Soengkono,
Sakur, Djojo dan Dayat. Merekalah para komandan yang membawahi kurang
lebih 50 pasukan yang saat itu berjuang melawan Belanda,” imbuhnya.
Saat Tolu menyebut nama Soekotjo, Soerahmat,dan juga Soengkono saya
pun teringat akan nama itu yakni sama persis dengan riset Harry A Poeze
yang menyatakan Tan Malaka ditembak mati tanggal 21 Februari 1949 oleh
Brigade S atas perintah Letnan Dua Sukotjo . Eksekusi yang terjadi
selepas Agresi Militer Belanda kedua itu didasari surat perintah
Panglima Daerah Militer Brawijaya Soengkono dan Komandan Brigade-nya
Letkol Soerahmat.
Hal ini juga diperkuat dalam buku Otobiografi Letkol Soerahmat
(Komandan Brigade S, tinggal di Kediri) yang ditulis salah satu putranya
Ir Suyudi memang menyebutkan bahwa Brigade Sikatan atau yang lebih
dikenal dengan Brigade S adalah yang menembak mati Tan Malaka di Kediri
pada 21 Februari 1949.
Penangkapan hingga penembakan mati Tan Malaka oleh Brigade S atas
perintah Petinggi militer di Jawa Timur. Militer menilai seruan Tan
Malaka membahayakan stabilitas. Seruan Tan Malaka itu terkait penahanan
Bung Karno dan Bung Hatta di Bangka menciptakan kekosongan kepemimpinan
serta pernyataan enggannya elite militer bergerilya.
Mereka pun memerintahkan penangkapan Tan Malaka yang sempat ditahan
di Desa Patje Nganjuk dan akhirnya dieksekusi di Selopanggung Kediri.
Tentang Tan Malaka sendiri, Tolu saksi sejarah yang masih hidup mengaku
antara ingat dan tidak. Untuk mengembalikan memori ingatannya merdeka.com mencoba mencoba membukakan gambar wajah Tan Malaka.
Dari situlah kemudian dia kembali teringat. “Orang ini adalah orang
yang menjadi tawanan TRI, dia diamankan khusus. Waktu itu yang menjaga
adalah di bawah pengawasan Pak Dayat langsung. Entah bagaimana ceritanya
ketika itu setelah ditawan saya mengetahui dia meninggal yakni tepatnya
sebelum akhirnya pasukan TRI meninggalkan desa kami sekitar awal tahun
1949,” jelasnya.
Mengenai di mana lokasi tawanan itu meninggal dunia dan kemudian
dikuburkan, Tolu terdiam. Dia menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian dia
keluar rumah dan menunjukkan pohon petai di depan bekas rumah kakeknya
Yasir yang kini sudah rata dengan tanah.
“Di sanalah Tan Malaka hilang, itu yang hanya saya tahu, ini juga
saya katakan pada orang Belanda Harry A Poeze yang datang menemui saya
tiga belas tahun lalu. Kemudian oleh Harry tempat tersebut disuruh
menandai dengan tulisan “Di sinilah Tempat Hilangnya Datuk Ibrahim/Tan
Malaka,” katanya.
Sedikit mengingatkan Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan
Malaka adalah seorang aktivis pejuang nasionalis Indonesia dan politisi
yang mendirikan Partai Murba. Pejuang yang militan, radikal dan
revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan
berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Dengan perjuangan yang gigih dia dikenal sebagai tokoh revolusioner
yang legendaris. Di usianya yang masih 16 tahun tepatnya tahun 1912, Tan
Malaka dikirim ke Belanda. Tahun 1919 dia kembali ke Indonesia dan
bekerja sebagai guru di sebuah perkebunan di Deli. Ketimpangan sosial
yang dilihatnya di lingkungan perkebunan, antara kaum buruh dan tuan
tanah menimbulkan semangat radikal pada diri Tan Malaka muda.
Tahun 1921, dia pergi ke Semarang dan bertemu dengan Semaun dan mulai
terjun ke kancah politik Saat kongres PKI 24-25 Desember 1921, Tan
Malaka diangkat sebagai pimpinan partai. Januari 1922 dia ditangkap dan
dibuang ke Kupang. Pada Maret 1922 Tan Malaka diusir dari Indonesia dan
mengembara ke Berlin, Moskow dan Belanda.
(Sumber: Merdeka Online)
0 komentar:
Posting Komentar