Kajian terhadap bangunan candi telah banyak dilakukan oleh para ahli
ilmu purbakala (arkeologi) baik para ahli Belanda ataupun ahli Indonesia
sendiri. Istilah “candi” umumnya hanya dikenal di Pulau Jawa saja,
walaupun demikian di beberapa daerah di luar Jawa yang pernah mendapat
pengaruh kebudayaan Jawa istilah “candi” tetap dikenal sebagai nama
bangunan kuno dari zaman Hindu-Buddha Nusantara.
Candi sebenarnya adalah salah satu saja dari bangunan keagaamaan yang
pernah digunakan dahulu ketika agama Hindu-Buddha merebak dipeluk
masyarakat Jawa Kuno. Berdasarkan bukti-buktinya dapat diketahui bahwa
perkembangan kebudayaan Hindu-Buddha di Jawa berlangsung sekitar abad
ke-8—15 M. Dalam pembabakan sejarah kebudayaan Jawa, masa itu dinamakan
dengan zaman Klasik. Dinamakan dengan zaman Klasik karena adanya 3
parameter, yaitu:
- Zaman Hindu-Buddha merupakan periode dikembangkannya tonggak-tonggak kebudayaan penting yang dalam zaman sebelumnya tidak dikenal, seperti aksara, sistem kerajaan, arsitektur monumental, kesenian, penataan wilayah, dan lainnya lagi.
- Hasil-hasil pencapaian kebudayaan masa itu terus dikenal hingga sekarang dan tetap dapat dijadikan acuan bagi perkembangan masyarakat masa sekarang. Misalnya penggunaan bahasa Jawa Kuno yang mengacu kepada bahasa Sansekerta, kisah-kisah Mahābharata dan Ramayana, konsep pahlawan, konsep penguasa yang baik, perempuan ideal, masyarakat sejahtera, dan lain-lain.
Melalui penelisikan terhadap bukti-bukti artefaktualnya zaman
Hindu-Buddha di Jawa pun terbagi dalam dua periode, yaitu (a) zaman
Klasik Tua (abad ke-8—10 M), dan (b) zaman Klasik Muda (abad ke-11—15
M). Zaman Klasik Tua berkembang di wilayah Jawa bagian tengah, bersamaan
dengan berkembangnya pusat kerajaan di wilayah tersebut. Kerajaan yang
dikenal dalam masa itu adalah Mataram Kuno yang ibu kotanya
berpindah-pindah semula di Mdang i Poh Pitu, kemudian pindah ke Mdang i
Watu Galuh, dan Mdang i Mamratipura. Adapun zaman Klasik Muda. Kerajaan
Mataram Kuno kerapkali dihubungkan dengan dinasti Śailendra yang
beragama Buddha Mahayana, namun ada juga kalangan sarjana yang
menyatakan bahwa kerajaan itu dikuasai oleh anak keturunan raja Sanjaya
(“Sanjayavamsa”) yang menganut agama Hindu. Teori terbaru menyatakan
bahwa Mataram Kuno dikuasai oleh anggota Śailendravamsa, di antara
anggota-anggotanya ada yang beragama Buddha Mahayana dan ada pula yang
memeluk Hindu-śaiva.
Dalam sekitar abad ke-10 M, Wawa raja Mataram Kuno memindahkan kota
kedudukan raja ke Jawa bagian timur, alasan pemindahan tersebut masih
menjadi perhatian para ahli dan belum ada kata putus yang dapat diterima
bersama. Hipotesa telah banyak dikemukakan oleh para ahli, ada yang
menyatakan bahwa pemindahan tersebut karena adanya wabah penyakit,
rakyat yang melarikan diri ke Jawa bagian timur karena raja-raja masa
itu memerintah dengan kejam, perpindahan itu dipicu karena adanya
serangan dari Śriwijaya, disebabkan bencana alam letusan Gunung Merapi,
serta suatu penjelasan terbaru menyatakan bahwa pemindahan ibu kota itu
sebenarnya mencari Mahameru yang lebih ideal di Jawa Timur (Munandar
2004).
Maka selanjutnya berkembanglah kerajaan-kerajaan di Jawa Timur,
dimulai dari masa pemerintahan Pu Sindok bersama dinasti Iśananya. Dalam
masa pemerintahan Airlangga (1019—1042 M) kerajaan Mataram yang
beribukota di Wwatan Mas (abad ke-11 M) itu terpaksa dibagi menjadi dua:
Janggala (Kahuripan) dan Panjalu (Kadiri) yang beribu kota di Daha.
Kerajaan Kadiri yang kemudian lebih berperanan dalam sejarah sepanjang
abad ke-12 M. Menyusul kerajaan Singhasari yang berkembang antara tahun
1222—1292 M yang dibangun oleh Ken Angrok. Akibat adanya serangan dari
Jayakatwang penguasa Glang-glang terhadap raja Singhasari terakhir,
yaitu Kŗtanagara (1268—1292), kerajaan itu runtuh, untuk kemudian lewat
perjuangan panjang Krtarajaśa Jayawarddhana (Raden Wijaya) berdirilah
Wilwatikta. Dalam masa pemerintahan Rajaśanagara (1350—1389 M) Majapahit
menjelma menjadi penguasa Nusantara, Majapahit merupakan kerajaan
Hindu-Buddha terakhir di Jawa, berkembang selama lebih kurang 200 tahun
lamanya (1293—1521 M).
Kerajaan Hindu-Buddha yang berkembang silih berganti di Jawa
melampaui abad demi abad ada yang banyak meninggalkan “jejaknya”, namun
ada pula yang sedikit saja mempunyai peninggalan arkeologis. Kerajaan
Mataram Kuno, Singhasari dan Majapahit termasuk yang banyak mewariskan
berbagai monumen keagamaan Hindu dan Buddha. Demikianlah monumen yang
menjadi perhatian dalam kajian ini adalah bangunan candi yang merupakan
salah satu monumen keagamaan penting. Bersama dengan candi terdapat
monumen lain yang dipandang sakral adalah petirthaan (patirthān), goa
pertapaan, dan altar persajian hanya saja jumlahnya terbatas. Oleh
karena itu candi tetap menjadi bahan kajian menarik karena jumlahnya
banyak dan memiliki arsitektur unikum, candi tidak akan pernah selesai
dibahas dari berbagai aspek, salah satu aspeknya adalah gaya
arsitekturnya.
II
R.Soekmono (1997) seorang ahli percandian Indonesia pernah mengadakan
tinjauan ringkas terhadap bangunan candi di Jawa, dinyatakan bahwa
bangunan candi di Jawa mempunyai dua langgam, yaitu Langgam Jawa Tengah
dan Langgam Jawa Timur. Menurutnya Langgam Jawa Tengah antara lain
mempunyai ciri penting sebagai berikut: (a) bentuk bangunan tambun, (b)
atapnya berundak-undak, (c) gawang pintu dan relung berhiaskan
Kala-Makara, (d) reliefnya timbul agak tinggi dan lukisannya naturalis,
dan (e) letak candi di tengah halaman. Adapun ciri candi Langgam Jawa
Timur yang penting adalah: (a) bentuk bangunannya ramping, (b) atapnya
merupakan perpaduan tingkatan, (c) Makara tidak ada, dan pintu serta
relung hanya ambang atasnya saja yang diberi kepala Kala, (d) reliefnya
timbul sedikit saja dan lukisannya simbolis menyerupai wayang kulit, dan
(e) letak candi bagian belakang halaman (Soekmono 1997: 86).
Demikian ciri-ciri penting yang dikemukakan oleh Soekmono selain
ciri-ciri lainnya yang sangat relatif sifatnya karena berkenaan dengan
arah hadap bangunan dan bahan yang digunakan. Sebagai suatu kajian awal
pendapat Soekmono tersebut memang penting untuk dijadikan dasar pijakan
selanjutnya manakala hendak menelaah tentang langgam arsitektur bangunan
candi di Jawa. Sebenarnya setiap butir ciri yang telah dikemukakan oleh
Soekmono dapat dijelaskan lebih lanjut sehingga menjadi lebih tajam
pengertiannya. Misalnya bentuk bangunan tambun yang dimiliki oleh candi
Langgam Jawa Tengah, kesan itu terjadi akibat adanya bagian lantai kaki
candi tempat orang berjalan berkeliling memiliki ruang yang lebar,
dengan istilah lain mempunyai pradaksinapatha yang lebar. Bentuk
bangunan tambun juga terjadi akibat atap candi Langgam Jawa Tengah tidak
tinggi, atapnya memang bertingkat-tingkat, dan hanya berjumlah 3
tingkat termasuk kemuncaknya. Dibandingkan dengan candi Langgam Jawa
Timur jumlah tingkatan atapnya lebih dari tiga dan berangsur-angsur tiap
tingkatan tersebut mengecil hingga puncaknya, begitupun
pradaksinapathanya sempit hanya muat untuk satu orang saja, oleh karena
itu kesan bangunannya berbentuk ramping.
Penjelasan lebih rinci juga dapat terjadi dalam hal kepala Kala,
selain berpasangan dengan makara (hewan mitos gabungan antara gajah dan
ikan, [gajamina]), umumnya Kala pada candi-candi Jawa tengah digambarkan
tanpa rahang bawah (tidak berdagu), seringkali juga tidak mempunyai
sepasang cakar, dan mengesankan wajah seekor singa simbol wajah
kemenangan (kirttimukha). Sedangkan Kala di candi-candi dengan Langgam
Jawa Timur digambarkan mempunyai rahang bawah (berdagu), jelas mempunyai
sepasang cakar di kanan-kiri kepalanya dalam artian mengancam kejahatan
yang akan mengganggu kesucian candi, pada beberapa candi zaman
Singhasari dan Majapahit kepala Kala dilengkapi sepasang tanduk dan
sepasang taring yang mencuat dari pipi kanan-kirinya. Kala tidak lagi
dipasangkan dengan bingkai Makara, melainkan dengan ular atau Naga yang
diletakkan di samping kanan-kiri Kala. Dalam penggambaran relief Kala
disepadankan dengan sepasang kepala kijang (mŗga) yang menghadap ke arah
luar. Pada akhirnya kesan yang didapatkan apabila memperhatikan Kala
candi-candi Jawa Timur adalah sebagai kepala raksasa, bukannya wajah
singa.
Dalam hal pemahatan relief yang menghias dinding candi, jika disimak
dengan seksama terdapat perbedaan yang lebih terinci lagi. Memang secara
prinsip di candi-candi Langgam Jawa Tengah pemahatan reliefnya tinggi
dan bersifat naturalis, namun terdapat sejumlah ciri lainnya lagi yang
bersifat spesifik. Dengan demikian jika diuraikan secara lengkap ciri
relief di candi-candi Jawa Tengah adalah:
- Pemahatan relief tinggi
- Penggambaran bersifat naturalis
- Ketebalan pahatan ½ sampai ¾ dari media (balok batu)
- Terdapat bidang yang dibiarkan kosong pada panil
- Figur manusia dan hewan wajahnya diarahkan kepada pengamat (enface)
- Cerita acuan berasal dari kesusastraan India
- Tema kisah umumnya wiracarita (epos)
- Cerita dipahatkan lengkap dari adegan awal hingga akhir.
Mengenai ciri-ciri penggambaran relief pada candi-candi Langgam Jawa Timur adalah:
- Pemahatan relief rendah
- Penggambaran figur-figur simbolis, tokoh manusia seperti wayang kulit
- Dipahatkan hanya pada ¼ ketebalan media (batu/bata)
- Seluruh panil diisi penuh dengan berbagai hiasan, seperti terdapat “ketakutan pada bidang yang kosong”.
- Figur manusia dan hewan wajahnya diarahkan menghadap ke samping
- Cerita acuan dari kepustakaan Jawa Kuno, di samping beberapa saduran dari karya sastra India.
- Tema cerita umumnya romantis (perihal percintaan)
- Relief cerita bersifat fragmentaris, tidak lengkap hanya episode tertentu saja dari suatu cerita lengkap (Munandar 2003: 28—29).
Dalam hal letak candi induk di suatu kompleks percandian, Soekmono
menyatakan bahwa bangunan candi induk pada Langgam Jawa Tengah memang
berada di pusat halaman, sedangkan bangunan candi induk di kompleks
percandian dengan Langgam Jawa Timur terletak di halaman paling
belakang. Soekmono menjelaskan:
“Maka mengenai bangunan candi harus diketengahkan bahwa candi Roro
Jonggrang menghendaki ditariknya seluruh perhatian ke pusat menuju
langit (lokasi kayangan tempat bersemayam para dewa), sedangkan Candi
Panataran menghendaki penggelaran pandangan secara mendatar (yang
sebenarnya merupakan proyeksi datar saja dari susunan vertikal) dengan
tujuan pengarahan perhatian ke lokasi nenek moyang di gunung-gunung”
(Soekmono 1986: 237).
Sebenarnya secara tidak langsung Soekmono telah menjelaskan adanya
fungsi yang berbeda antara bangunan candi-candi dalam masa Klasik Tua
yang didirikan di Jawa bagian tengah dan candi-candi masa Klasik Muda di
Jawa Timur. Bahwa bangunan candi-candi masa Klasik Tua didirikan untuk
keperluan ritus pemujaan kepada dewata, sedangkan candi-candi di masa
Klasik Muda terutama era Singhasari dan Majapahit bermaksud untuk
didedikasikan bagi pemujaan nenek moyang telah diperdewa. Maka bangunan
candi jelas merupakan monumen keagamaan yang bersifat sakral karena
diperuntuk sebagai media untuk “berkomunikasi” dengan hal Adikodrati
(superhuman beings).
Sebagai bangunan sakral candi tidaklah mengikuti kaidah keagamaan
secara ketat, artinya tidak setiap bangunan candi harus didirikan secara
seragam. Bangunan-bangunan tersebut mempunyai wujud arsitektur yang
berbeda-beda, walaupun mempunyai latar belakang keagamaan yang sama.
Wujud arsitektur yang berbeda itulah yang menarik untuk diperbincangkan
lebih lanjut, karena perbedaan tersebut sebenarnya menunjukkan adanya
kekhasan. Oleh karena itu lazim disebut-sebut bahwa bangunan candi
memiliki keistimewaan yang tidak didapatkan pada bangunan candi lainnya.
Misalnya keistimewaan Candi Bima di Dieng adalah atapnya, atap dihias
dengan bentuk-bentuk seperti buah keben (amalaka) yang tertekan dan
oeleh karena itu wujudnya pipih. Candi lain mempunyai keistimewaan lain
lagi dan seterusnya setiap candi mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri.
III
Berdasarkan bentuk arsitekturnya, sebenarnya candi-candi di wilayah
Jawa bagian tengah dapat dibagi ke dalam dua macam gaya yang
berlatarbelakangkan nafas keagamaannya, yaitu (1) candi-candi
Hindu-śaiva dan (2) candi-candi Bauddha. Walaupun secara prinsip
candi-candi itu mempunyai kesamaan, namun terdapat banyak perbedaan pula
yang menarik untuk dibicarakan lebih lanjut.
Persamaan antara bangunan candi-candi Hindu-śaiva dan Bauddha di
wilayah Jawa Tengah yang didirikan antara abad ke-8—10 M antara lain
adalah:
- umumnya mempunyai pondasi yang berbentuk sumuran
- secara vertikal terdiri dari 3 bagian, yaitu, kaki, tubuh, dan atap bangunan
- mempunyai ruang utama di tengah bangunan
- dilengkapi dengan sejumlah relung yang kadang-kadang diperbesar menjadi ruang
- pipi tangga berbentuk ikal lemah
- terdapat gabungan bingkai padma, setengah lingkaran, dan rata
- ornamen yang selalu dikenal adalah hiasan Kala dan Makara.
Beberapa persamaan itu dapat ditemukan baik di candi-candi Hindu
ataupun Buddha, seakan-akan telah menjadi ciri arsitektur bagi bangunan
candi apapun di masa itu. Sebagai contoh pada butir b, baik pada candi
Hindu ataupun Buddha pembagian vertikal tersebut selalu dapat dijumpai,
yaitu (1) adanya bagian pondasi dan kaki candi dalam ajaran Hindu
merupakan simbol dari alam Bhurloka, pada candi Buddha bagian ini
dipandang sebagai pencerminan lapisan kehidupan Kamadhatu. (2) Bagian
tubuh candi tempat bersemayamnya arca-arca dewa baik di bilik tengah
(utama) atau relung-relung (parsvadewata) dalam ajaran Hindu merupakan
simbol dari dunia Bhuvarloka, sedangkan dalam ajaran Buddha dapat
dipandang sebagai pencerminan dari lapisan kehidupan Rupadhatu, dan (3)
atap candi merupakan simbol Svarloka dalam Hinduisme, yaitu alam
kehidupan para dewa. Adapun dalam ajaran Buddhisme atap adalah simbol
Arupadhatu, suatu suasana tanpa wujud apapun, benar-benar hampa
(śunyata).
Jadi berdasarkan pembagian arsitektur secara vertikal baik di candi
Hindu ataupun Buddha sebenarnya melambangkan lapisan 3 dunia, yaitu
dunia keburukan, dunia yang agak baik, dan dunia kebajikan sepenuhnya.
Hal ini dinyatakan secara tegas dalam di bangunan candi, terutama dalam
hal penerapan ornamennya, sebab ornamen-ornamen itu ada yang khas
menggambarkan suatu dunia tertentu. Misalnya penggambaran figur-figur
makhluk kahyangan yang melayang di awan, binatang-binatang mitos, pohon
Kalpataru, relief cerita yang mencerminkan lapisan alam tertentu, dan
sebagainya.
Sebelum membicarakan cirri penting candi-candi Hindu, berikut
didaftarkan dulu candi-candi Hindu penting di wilayah Jawa bagian
tengah. Dengan adanya daftar tersebut dapat diketahui adanya sejumlah
candi Hindu yang bangunannya masih berdiri, walaupun ada yang tidak
lengkap lagi. Candi-candi itu adalah adalah:
1. Kelompok Candi Dieng + abad ke-8 Banjarnegara
2. Kelompok Candi Gedong Songo + abad ke-8 Ambarawa
3. Candi Gunung Wukir tahun 732 M Magelang
4. Candi Pringapus + abad ke-9 Temanggung
5. Kelompok Candi Sengi + abad ke-9 Magelang
6. Candi Selagriya + abad ke-9 Magelang
7. Candi Sambisari + abad ke-9 Sleman
8. Candi Kedulan + abad ke-9 Sleman
9. Candi Morangan + abad ke-9 Sleman
10. Candi Barong + abad ke-9 Sleman
11. Candi Ijo + abad ke-9 Sleman
12. Candi Merak + abad ke-10 Klaten
13. Candi Lawang + abad ke-10 Boyolali
14. Candi Sari + abad ke-10 Boyolali
15. Percandian Prambanan tahun 856 M Sleman
2. Kelompok Candi Gedong Songo + abad ke-8 Ambarawa
3. Candi Gunung Wukir tahun 732 M Magelang
4. Candi Pringapus + abad ke-9 Temanggung
5. Kelompok Candi Sengi + abad ke-9 Magelang
6. Candi Selagriya + abad ke-9 Magelang
7. Candi Sambisari + abad ke-9 Sleman
8. Candi Kedulan + abad ke-9 Sleman
9. Candi Morangan + abad ke-9 Sleman
10. Candi Barong + abad ke-9 Sleman
11. Candi Ijo + abad ke-9 Sleman
12. Candi Merak + abad ke-10 Klaten
13. Candi Lawang + abad ke-10 Boyolali
14. Candi Sari + abad ke-10 Boyolali
15. Percandian Prambanan tahun 856 M Sleman
Sebenarnya terdapat juga candi-candi Hindu yang tinggal runtuhannya
saja, karena itu tidak dapat diperkirakan kembali wujud lengkapnya
semula. Misalnya Candi Gondosuli di Temanggung, Candi Ngempon di
Ambarawa, dan Candi Retno di Magelang. Tentunya di masa mendatang
diperkirakan masih akan ditemukan candi-candi Hindu lainnya di wilayah
Jawa Tengah, terutama di sekitar gunung atau pegunungan, mengingat
terdapat konsep kuat bahwa di daerah pegunungan itulah para dewa
bersemayam, jadi para pembangun candi diperkirakan akan banyak
mendirikan candi di daerah dataran tinggi dan gunung-gemunung.
Berdasarkan pengamatan terhadap sejumlah candi Hindu di wilayah Jawa
Tengah dapat diketahui adanya sejumlah ciri khas yang dimiliki oleh
bangunan-bangunan candi Hindu, yaitu:
- Di bagian tengah pondasi terdapat sumuran (perigi) tempat untuk menyimpan pendaman
- Lantai pradaksinapatha tidak terlalu lebar di bagian tepinya tidak ada pagar langkan (vedika).
- Terdapat 5 relung di dinding luarnya, 1 relung di setiap sisi dinding dan 2 relung kecil di kanan-kiri pintu (berisikan arca Durga Mahisasuramardini, Ganesa, Rsi Agastya, Mahakala, dan Nandiśvara)
- Jika berupa kompleks bangunan, maka terdiri dari 1 candi induk berhadapan dengan 3 Candi Perwara. Candi perwara tengah berisikan arca Nandi.
- Di bagian tengah bilik utama terdapat Lingga-Yoni, Yoni menutup mulut perigi yang terdapat di lantai bilik dan menembus pondasi.
- Mercu-mercu atap berupa bentuk candi kecil, kemuncaknya berbentuk motif ratna.
Demikian beberapa ciri penting yang terdapat pada bangunan gaya
arsitektur candi Hindu-śaiva yang terdapat di Jawa bagian tengah.
Ciri-ciri tersebut sebagian besar dapat ditemukan pada hampir semua
bangunan candi Hindu-śaiva, namun ada pula yang hanya didapatkan pada 2
bangunan saja, selain dua bangunan tersebut tidak dapat dijumpai ciri
yang dimaksudkan. Misalnya di lingkungan percandian Dieng dan Gedong
Songo, setiap candi tidak dilengkapi dengan 3 Candi Perwara di
hadapannya, melainkan terdapat satu bangunan saja yang denahnya empat
persegi panjang, kasus demikian etrjadi pada Candi Arjuno yang
berhadapan dengan Candi Semar. Di kompleks Gedong Songo terdapat Candi
Gedong Songo II yang berhadapan dengan struktur kaki candi berdenah
empat persegi panjang, dahulu mungkin merupakan candi perwaranya. Candi
Gedong Songo I, justru tidak terdapat relung di sisi luarnya, dan
terlihat adanya sisa pagar langkan di bagian tepian pradaksinapathanya,
jadi mirip dengan bentuk arsitektur candi Buddha. Hanya saja karena
candi-candi lainnya di kelompok percandian Gedong Songo tersebut
bernafaskan agama Hindu-śaiva, maka candi Gedong Songo I pun digolongkan
sebagai candi Hindu-śaiva pula.
Dalam pada itu terdapat pula candi-candi Buddha penting di wilayah
Jawa bagian tengah, candi-candi itu ada yang dipandang menarik dari
sudut arsitekturnya selain stupa Borobudur yang tidak ada duanya lagi di
dunia. Candi Borobudur sebenarnya merupakan gabungan antara bentuk
punden berundak yang dihiasi dengan stupa-stupa, stupa induk berada di
puncak pundek seakan-akan menjelma menjadi mahkota bagi punden berundak
khas bangunan suci masa prasejarah Indonesia (Wirjosuparto 1964: 53—54).
Candi-candi Buddha ada yang mempunyai denah empat persegi panjang dalam
ukuran besar (Candi Sari, Plaosan Lor, dan Banyunibo), sedangkan candi
Hindu hanya berukuran kecil saja (Candi Semar dan Gedong Songo IIIc).
Terdapat pula candi-candi Buddha yang dilengkapi dengan banyak Perwara,
misalnya Candi Lumbung, Sewu, Plaosan Lor, dan Kidal, sedangkan candi
Hindu hanya Prambanan saja yang dilengkapi banyak Perwara. Gambaran umum
percandian Buddha di Jawa bagian tengah antara lain:
1. Percandian Ngawen + abad ke-9 Magelang
2. Candi Kalasan + abad ke-8 Sleman
3. Candi Sari (candi Bendah) + abad ke-8 Sleman
4. Stupa Borobudur + abad ke-9 Magelang
5. Candi Pawon + abad ke-9 Magelang
6. Candi Mendut + abad ke-9 Magelang
7. Percandian Lumbung + abad ke-9 Sleman
8. Candi Bubrah sekitar tahun 782 M Sleman
9. Percandian Sewu (Manjusrigrha) tahun 792 M Sleman
10. Percandian Plaosan Lor + abad ke-10 Klaten
11. Percandian Plaosan Kidul + abad ke-10 Klaten
12. Candi Sajiwan + abad ke-9 Klaten
13. Percandian Banyunibo + abad ke-9 Sleman
14. Stupa Dawangsari + abad ke-10 Sleman
2. Candi Kalasan + abad ke-8 Sleman
3. Candi Sari (candi Bendah) + abad ke-8 Sleman
4. Stupa Borobudur + abad ke-9 Magelang
5. Candi Pawon + abad ke-9 Magelang
6. Candi Mendut + abad ke-9 Magelang
7. Percandian Lumbung + abad ke-9 Sleman
8. Candi Bubrah sekitar tahun 782 M Sleman
9. Percandian Sewu (Manjusrigrha) tahun 792 M Sleman
10. Percandian Plaosan Lor + abad ke-10 Klaten
11. Percandian Plaosan Kidul + abad ke-10 Klaten
12. Candi Sajiwan + abad ke-9 Klaten
13. Percandian Banyunibo + abad ke-9 Sleman
14. Stupa Dawangsari + abad ke-10 Sleman
Setelah membicarakan beberapa candi Buddha penting di wilayah Jawa
bagian tengah, kronologi relatif, dan lokasinya sekarang ini,
selanjutnya diperhatikan beberapa cirri penting dari candi-candi Buddha.
Dinamakan penting karena cirri-ciri itulah yang secara umum hadir pada
candi-candi Buddha, yaitu:
Ciri-ciri penting candi Buddha
- Bangunan candi induk dikelilingi oleh candi perwara di sekitarnya
- Lantai pradaksinapatha relatif lebar dan di bagian tepinya mempunyai pagar langkan (vedika)
- Pada bagian tubuh candi terdapat lubang-lubang yang tembus seakan-akan berfungsi sebagai ventilasi, selain terdapat relung-relung di dinding luarnya
- Mempunyai komponen bangunan berbentuk stupa, terutama di bagian atap
- Dilengkapi dengan arca-arca yang bersifat bauddha
- Di bilik candinya, menempel di dinding belakang terdapat “pentas persajian” , untuk meletakkan arca.
- Tidak mempunyai perigi sebagaimana yang dijumpai pada candi Hindu
- Pada beberapa candi besar halaman percandian diperkeras dengan hamparan balok batu, hal itu dapat ditafsirkan bahwa di masa silam pernah terjadi ritual yang banyak menyita aktivitas di halaman tersebut.
Demikianlah apabila diperhatikan secara seksama terdapat perbedaan
antara candi-candi Hindu-śaiva dan Buddha Mahayana di masa Klasik Tua di
Jawa bagian tengah. Perbedaan itulah yang dapat disebut langgam atau
gaya, jadi di Jawa bagian tengah antara abad ke-8—10 candi-candi
dibangun dengan dua langgam, yaitu langgam candi Hindu atau langgam
candi Buddha. Pendapat R.Soekmono dalam hal ini dapat dikembangkan lebih
lanjut, bahwa langgam candi Jawa tengah itu ternyata dapat dibagi
menjadi 2 lagi. Sebenarnya kedua langgam itu telah mengalami gejala
perpaduan di kompleks Prambanan, sebab ciri-ciri candi Hindu dan Buddha
dapat ditemukan secara bersama-sama di gugusan candi Prambanan. Sejalan
dengan pendapat J.G.de Casparis akhirnya terjadi perkawinan antara
anggota “keluarga Sanjaya” yang Hindu dan anggota Śailendravamsa yang
beragama Buddha. Perkawinan dua keluarga tersebut kemudian diwujudkan
dengan mendirikan bangunan suci yang bercorak dua agama, yaitu
percandian Prambanan atau Śivagrha dalam tahun 856 M (Sumadio 1984).
IV
Setelah kerajaan berkembang di wilayah Jawa bagian timur, maka
bermacam aktivitas keagamaan pun beralih ke wilayah tersebut. Bangunan
suci pun kemudian dibangun oleh masyarakat masa itu di lokasi-lokasi
yang dipandang sakral melanjutkan tradisi Klasik Tua, seperti di
pertemuan dua aliran sungai, daerah dataran tinggi dan pegunungan, dan
dekat sumber-sumber air (mata air). Hal yang menarik di daerah malang
sampai sekarang masih terdapat bangunan candi dengan Langgam candi Hindu
Klasik Tua –sebagaimana yang terdapat pada candi Hindu-saiva di Jawa
Tengah, yaitu Candi badut. Candi ini dihubungkan dengan Prasasti Dinoyo
yang bertarikh 760 M. Dalam prasasti itu diuraikan adanya Kerajaan
Kanjuruhan, Raja yang mengeluarkan prasasti itu adalah Gajayana yang
beragama Hindu-saiva. Sehubungan dengan sebab tertentu yang belum dapat
dijerlaskan, Kanjuruhan runtuh mungkin masih dalam abad ke-8 juga,
kemudian uraian sejarahnya tidak dapat diketahui lagi.
Tinggalan arsitektur tertua setelah Mataram ibu kota berlokasi di
Jawa bagian timur antara abad ke-10—11 M sebenarnya cukup langka, dua di
antaranya yang penting adalah petirthān kuno, yaitu Jalatunda (abad
ke-10 M) yang terletak di lereng barat Gunung Penanggungan dan Belahan
terletak di lereng timurnya (abad ke-11 M). Kedua petirthan tersebut
sampai sekarang masih mengalirkan air walaupun sudah tidak deras lagi.
Menilik gaya arsitektur, relief dan seni arcanya patirthǎn Jalatunda dan
Belahan dapat digolongkan sebagai karya arsitektur tertua di Jawa Timur
setelah periode Kanjuruhan. Satu runtuhan candi yang semula merupakan
patirthǎn pula adalah candi Sanggariti yang berlokasi di daerah Batu,
Malang. Hanya saja candi penting dari sekitar abad ke-10 tersebut sudah
tidak terurus lagi, sebagian bangunannya (tubuh dan atapnya telah
hilang).
Sisa bangunan candi yang diperkirakan didirikan oleh raja Pu Sindok
(929—947 M) adalah runtuh candi Lor yang terbuat dari bata di wilayah
Kabupaten Nganjuk sekarang. Sisa candi Gurah di wilayah Kediri pernah
ditemukan dalam penggalian arkeologi tahun 1969, bangunannya hanya
tinggal pondasinya saja, sedangkan arca-arcanya dalam keadaan cukup
baik, yaitu arca Brahma, Surya, Candra, dan Nandi. Bangunan Candi Gurah
diperkirakan berasal dari Kerajaan Kadiri (abad ke-12 M), candi itu
masih berlanggam candi Hindu Klasik Tua karena di depan candi induknya
terdapat 3 candi perwara masing-masing mempunyai pondasi yang terpisah.
Ujung pipi tangganya dihias dengan makara, suatu yang lazim pada
candi-candi Jawa tengah, sedangkan arca-arcanya mirip dengan gaya seni
arca Singhasari, oleh karena itu Soekmono menyatakan bahwa arsitektur
candi Gurah merupakan mata rantai penghubung antara gaya bangunan candi
masa Klasik Tua di Jawa Tengah dan masa Klasik Muda di Jawa bagian timur
(Soekmono 1969: 4—5, 16—17).
Bangunan candi di wilayah Jawa bagian timur yang relatif masih utuh
kebanyakan berasal dari periode Singhasari (abad ke-13 M) dan Majapahit
(abad ke-14–15 M). Candi-candi yang dihubungkan dengan periode Kerajaan
Singhasari yang masih bertahan hingga kini adalah Candi Sawentar
(Blitar), Kidal, Singhasari, Stupa Sumberawan (Malang), dan candi Jawi
(Pasuruan).
Adapun candi-candi dari era Majapahit yang masih dapat diamati wujud bangunannya walaupun banyak yang tidak utuh lagi, adalah:
1. Candi Sumberjati (Simping) Abad ke-14 M Blitar
2. Candi Ngrimbi (Arimbi) s.d.a Jombang
3. Candi Panataran (Rabut Palah) s.d.a Blitar
4. Candi Surawana s.d.a Kediri
5. Candi Tegawangi s.d.a Kediri
6. Candi Kali Cilik s.d.a Blitar
7. Candi Bangkal s.d.a Mojokerto
8. Candi Ngetos s.d.a Nganjuk
9. Candi Kotes s.d.a Blitar
10. Candi Gunung Gangsir s.d.a Pasuruan
11. Candi Jabung s.d.a Probolinggo
12. Candi Kedaton Abad ke-15 M Probolinggo
13. Candi Brahu s.d.a Trowulan/Mojokerto
14. Candi Tikus s.d.a s.d.a
15. Gapura Bajang ratu s.d.a s.d.a
16. Gapura Wringin Lawang s.d.a s.d.a
17. Candi Pari Abad ke-14 M Sidoarjo
18. Candi Pamotan Abad ke-15 M Mojokerto
19. Candi Dermo s.d.a s.d.a
20. Candi Kesiman Tengah s.d.a s.d.a
21. Candi Sanggrahan Abad ke-14 M Tulungagung
22. Candi Mirigambar s.d.a s.d.a
23. Candi Bayalango s.d.a s.d.a
24. Punden berundak di Penanggungan Abad ke-15—16 M Mojokerto
2. Candi Ngrimbi (Arimbi) s.d.a Jombang
3. Candi Panataran (Rabut Palah) s.d.a Blitar
4. Candi Surawana s.d.a Kediri
5. Candi Tegawangi s.d.a Kediri
6. Candi Kali Cilik s.d.a Blitar
7. Candi Bangkal s.d.a Mojokerto
8. Candi Ngetos s.d.a Nganjuk
9. Candi Kotes s.d.a Blitar
10. Candi Gunung Gangsir s.d.a Pasuruan
11. Candi Jabung s.d.a Probolinggo
12. Candi Kedaton Abad ke-15 M Probolinggo
13. Candi Brahu s.d.a Trowulan/Mojokerto
14. Candi Tikus s.d.a s.d.a
15. Gapura Bajang ratu s.d.a s.d.a
16. Gapura Wringin Lawang s.d.a s.d.a
17. Candi Pari Abad ke-14 M Sidoarjo
18. Candi Pamotan Abad ke-15 M Mojokerto
19. Candi Dermo s.d.a s.d.a
20. Candi Kesiman Tengah s.d.a s.d.a
21. Candi Sanggrahan Abad ke-14 M Tulungagung
22. Candi Mirigambar s.d.a s.d.a
23. Candi Bayalango s.d.a s.d.a
24. Punden berundak di Penanggungan Abad ke-15—16 M Mojokerto
Berdasarkan wujud arsitektur yang masih bertahan hingga kini, maka
bangunan suci Hindu-Buddha di wilayah Jawa Timur yang berkembang antara
abad ke-13—16 M dapat dibagi ke dalam 5 gaya, yaitu (1) Gaya Singhasari,
(2) Gaya Candi Brahu, (3) Gaya Candi Jago, (4) “Candi Batur”, dan (5)
Punden berundak. Untuk lebih jelasnya ciri setiap gaya tersebut adalah
sebagai berikut:
1.Gaya Singhasari
Dinamakan demikian karena wujud arsitektur yang menjadi ciri gaya ini
mulai muncul dalam zaman kerajaan Singhasari dan terus bertahan hingga
zaman Majapahit. Ciri yang menonjol dari Gaya Singhasari adalah:
1. Bangunan candi utama terletak di tengah halaman, atau di daerah tengahnya yang sering tidak terlalu tepat.
2. Bangunan candi terbagi 3 yang terdiri dari bagian kaki (upapitha), tubuh (stambha), dan atap yang berbentuk menjulang tinggi dengan tingkatan yang berangsur-angsur mengecil hingga puncak. Seluruh bangunan candi terbuat dari bahan tahan lama, seperti batu, bata, atau campuran batu dan bata.
3. Ruang atau bilik utama terdapat di bagian tengah bangunan, terdapat juga relung di dinding luar tubuh candi tempat meletakkan arca dewata.
2. Bangunan candi terbagi 3 yang terdiri dari bagian kaki (upapitha), tubuh (stambha), dan atap yang berbentuk menjulang tinggi dengan tingkatan yang berangsur-angsur mengecil hingga puncak. Seluruh bangunan candi terbuat dari bahan tahan lama, seperti batu, bata, atau campuran batu dan bata.
3. Ruang atau bilik utama terdapat di bagian tengah bangunan, terdapat juga relung di dinding luar tubuh candi tempat meletakkan arca dewata.
Contoh gaya Singhasari adalah: Candi Sawentar, Kidal, Jawi,
Singhasari (memiliki keistimewaan), Angka Tahun Panataran, Kali Cilik,
Ngetos, dan Bangkal.
2.Gaya Brahu
Brahu adalah nama candi bata yang terletak di situs Trowulan, bentuk
bangunannya unik, karena arsitekturnya baru muncul dalam zaman
Majapahit. Dalam masa sebelumnya baik di era Singhasari atau Mataram
Kuno bentuk arsitektur demikian belum dikenal. Dapat dipandang sebagai
corak arsitektur tersendiri karena selain Candi Brahu candi yang sejenis
itu masih ada lagi dalam zaman yang sama. Ciri Gaya Brahu adalah:
1. Bagian kaki candi terdiri atas beberapa teras (tingkatan), teras atas lebih sempit dari teras bawahnya).
2. Tubuh candi tempat bilik utama didirikan di bagian belakang denahnya yang bentuk dasarnya empat persegi panjang.
3. Seluruh bangunan dibuat dari bahan yang tahan lama, umumnya bata.
2. Tubuh candi tempat bilik utama didirikan di bagian belakang denahnya yang bentuk dasarnya empat persegi panjang.
3. Seluruh bangunan dibuat dari bahan yang tahan lama, umumnya bata.
Termasuk kelompok Gaya Brahu adalah Candi Brahu, Jabung, dan Gunung
Gangsir. Dalam pada itu di wilayah Padang Lawas, Sumatra Utara terdapat
sekelompok bangunan suci dengan Gaya Brahu pula, dinamakan dengan Biaro
Bahal yang jumlahnya lebih dari 3 bangunan. Dengan demikian dapat
diperkirakan bahwa biaro-biaro di Padang Lawas tersebut didirikan dalam
masa perkembangan Majapahit pula.
3.Gaya Jago
Candi Jago terletak di Malang, arca-arcanya berlanggam seni
Singhasari dengan adanya tokoh yang diapit oleh sepasang teratai yang
keluar dari bonggolnya, namun gaya bangunannya tidak sama dengan dua
macam gaya yang telah disebutkan terdahulu. Menilik bentuk bangunannya
yang berbeda dengan dua gaya lainnya, maka Candi Jago bersama beberapa
candi lainnya yang sejenis termasuk ke dalam gaya seni arsitektur
tersendiri. Untuk memudahkannya gaya arsitektur itu dinamakan dengan
Gaya Jago, dengan Candi Jago sebagai contoh terbaiknya. Ciri-ciri
penting Gaya Jago adalah:
1. Kaki candi berteras 1, 2 atau 3 dengan denah dasar empat persegi panjang.
2. Bilik utama didirikan di bagian tengah teras teratas atau bergeser agak ke belakang teras teratas.
3. Atap tidak dijumpai lagi, diduga terbuat dari bahan yang cepat rusak (ijuk, bambu, kayu, dan lain-lain), bentuknya menjulang tinggi bertingkat-tingkat dalam bahasa Jawa Kuno dikenal dengan prasadha. Bentuk seperti ini masih dikenal di Bali dan digunakan untuk menaungi bangunan meru, pelinggih dan pesimpangan di kompleks pura.
2. Bilik utama didirikan di bagian tengah teras teratas atau bergeser agak ke belakang teras teratas.
3. Atap tidak dijumpai lagi, diduga terbuat dari bahan yang cepat rusak (ijuk, bambu, kayu, dan lain-lain), bentuknya menjulang tinggi bertingkat-tingkat dalam bahasa Jawa Kuno dikenal dengan prasadha. Bentuk seperti ini masih dikenal di Bali dan digunakan untuk menaungi bangunan meru, pelinggih dan pesimpangan di kompleks pura.
Bangunan candi yang termasuk kelompok Gaya Jago adalah: Candi Jago, Candi Induk Panataran, Sanggrahan, dan Kesiman Tengah.
4. “Candi Batur”
Dinamakan demikian karena bentuknya hanya merupakan suatu bangunan 1
teras sehingga membentuk seperti siti inggil atau batur. Sekarang hanya
tersisa batur itu saja dengan tangga di salah satu sisinya, denahnya
bias berberntuk bujur sangkar dan dapat pula berbentuk empat persegi
panjang. Di bagian permukaan batur biasanya terdapat objek sakral,
antara lain berupa lingga-yoni, altar persajian, pedupaan berbentuk
candi kecil atau juga arca perwujudan tokoh yang telah meninggal. Contoh
bangunan candi seperti itu adalah Candi Kedaton di Probolinggo, Candi
Kedaton di Trowulan, Candi Miri Gambar, Tegawangi, Surawana, Papoh
(Kotes), dan Pasetran di lereng utara Gunung Penanggungan.
5. Punden berundak
Adalah bangunan teras bertingkat-tingkat meninggi yang menyandar di
kemiringan lereng gunung. Ukuran teras semakin mengecil ke atas, jumlah
teras umumnya 3 dan di bagian puncak teras teratas berdiri altar-altar
persajian yang jumlahnya 3 altar (1 altar induk diapit dua altar
pendamping di kanan-kirinya. Tangga naik ke teras teratas terdapat di
bagian tengah punden berundak, terdapat kemungkinan dahulu di kanan kiri
tangga tersebut berdiri deretan arca menuju ke puncak punden yang
berisikan altar tanpa arca apapun. Contoh yang baik bentuk punden
berundak masa Majapahit terdapat di lereng barat Gunung Penanggungan,
penduduk menamakan punden-punden itu dengan candi juga, misalnya Candi
Lurah (Kepurbakalaan No.1), Candi Wayang (Kep. No.VIII), Candi Sinta
(Kep.No.17a), Candi Yuddha (Kep.No.LX), dan Candi Kendalisada
(Kep.No.LXV). Selain di Gunung Penanggungan terdapat pula beberapa
punden berundak di lereng timur Gunung Arjuno, hanya saja dinding
teras-terasnya disusun dari batu-batu alami, tanpa dibentuk dahulu
menjadi balok-balok batu.
Penggolongan bentuk arsitektur candi-candi di Jawa Timur tersebut
berdasarkan pengamatan terhadap sisa bangunan yang masih ada sekarang,
mungkin di masa silam lebih banyak lagi bentuk arsitektur yang lebih
unik dan menarik, hanya saja tidak tersisa lagi wujudnya. Terdapat juga
bangunan candi yang tidak dapat digolongkan ke dalam bentuk arsitektur
manapun, misalnya Candi Pari yang bangunannya melebar dan tinggi, mirip
dengan bangunan suci yang terdapat di Champa (Indo-China). Mungkin saja
dahulu terdapat pengaruh gaya bangunan Champa yang masuk ke Majapahit,
hal itu agaknya sejalan dengan berita tradisi yang mengatakan bahwa raja
Majapahit pernah menikah dengan seorang putri Champa.Bangunan lain yang
juga unik adalah Candi Sumur di dekat Candi Pari, dinamakan demikian
karena ruang utamanya berupa lubang sumur yang berair. Candi Sumur
mempunyai padanannya pada Candi Sanggariti di Batu, Malang, namun dari
kronologi yang jauh berbeda.
V
Aktivitas keagamaan Hindu-Buddha di Jawa masa silam tentunya cukup
bergairah, terbukti dengan ditemukannya banyak peninggalan bangunan suci
dari kedua agama itu baik di wilayah Jawa bagian tengah ataupun timur.
Para ahli arkeologi dan sejarah kuno telah sepakat untuk menyatakan
bahwa munculnya berbagai karya arsitektur bangunan suci itu sebenarnya
sejalan dengan keberadaan pusat kerajaan sezaman. Ketika pusat kerajaan
berada di Jawa Tengah, candi-candi Hindu-Buddha banyak dibangun di
wilayah tersebut, dan ketika pusat-pusat kerajaan muncul di Jawa Timur,
pembangunan candi-candi pun banyak dilakukan di wilayah Jawa Timur.
Gaya arsitektur bangunan candi ketika pusat Kerajaan Mataram masih
berlokasi di Jawa Tengah, lebih didasarkan pada latar belakang agamanya.
Maka dari itu terdapat Langgam Candi Hindu-saiva dan Langgam Candi
Buddha Mahayana. Lain halnya ketika pusat-pusat kerajaan telah berada di
Jawa Timur, perbedaan gaya bangunan suci itu tidak didasarkan kepada
perbedaan agama lagi, baik candi Hindu ataupun Buddha gaya arsitekturnya
sama, hal yang membedakannya hanya terletak pada arca-arca yang dahulu
disemayamkan di dalamnya. Mungkin kenyataan ini sejalan dengan konsep
Siwa-Buddha bahwa sebenarnya dalam hakekat tertinggi sebenarnya tidak
ada lagi perbedaan antara Siwa dan Buddha, oleh karena itu tidak perlu
adanya perbedaan secara tegas terhadap wujud bangunan sucinya.
Satu masalah penting yang perlu kajian lebih lanjut adalah apa yang
terjadi di wilayah Jawa bagian tengah ketika Kadiri, Singhasari dan
Majapahit berkembang di Jawa Timur?, apakah Jawa Tengah sepi dari
aktivitas keagamaan?, apakah masih dihuni oleh penduduk?, mengapa tidak
ada sumber sejarah dan arkeologi yang ditemukan di wilayah Jawa Tengah
antara abad ke-11—14?. Demikianlah terdapat masalah yang menarik untuk
diungkapkan di masa mendatang, bahwa tidak mungkin wilayah tua di Jawa
bagian tengah bekas tempat kedudukan para Syailendra itu tiba-tiba sepi
saja, ketika kerajaan-kerajaan berkembang di Jawa bagian timur.
Penelisika untuk menjelaskan permasalahan itu masih terbuka, dan
mengundang para ahli yang berminat untuk mengeksplorasinya lebih lanjut.
BalasHapusAJOQQ menyediakan 8 permainan yang terdiri dari :
Poker,Domino99 ,BandarQ,BandarPoker,Capsa,AduQ,Sakong,Bandar66 ( NEW GAME )
Ayo segera bergabung bersama kami di AJOQQ :)
Bonus : Rollingan 0.3% dan Referral 20% :)
agen365 menyediakan game : sbobet, ibcbet, casino, togel dll
BalasHapusayo segera bergabung bersama kami di agen365*com
pin bbm :2B389877
mari segera bergabung dengan kami.....
BalasHapusdi ajoqq.club...
segera di add black.berry pin 58CD292C.
WwW-AJoQQ.club| bonus rollingan 0,3% | bonus referral 20% | minimal deposit 15000
agen poker terbesar dan terpercaya IONQQ. pin BB : 58ab14f5
BalasHapussilahkan daftar dan dapatkan keuntungan yang besar dengan bermain di IONQQ.GAMES